Wednesday, 26 February 2014

Aku tak pernah Membenci sosokmu, tapi Sikapmu.

Kamu masih saja berdiri ditempat yang sama, tubuh yang sama, dan bahkan dengan rasa yang sama.
Orang-orang berubah, aku berubah, tetapi masih saja kamu berdiri disitu dan tak pernah mau beranjak dari rasa yang kupikir paling pahit, dan tentu saja memang harus dilupakan.

Kamu masih kuat bertahan. Sampai kapanpun. Meski sebagian dari mereka berbilang bahwa itu hanya sekedar pemaksaan hati yang masih saja ingin mimiliki.


Kemudian mereka menyuruhmu melupakan rasa...membuang asa, dan segala tentangku. Dan ternyata kamu malah berpikir: kenapa mereka begitu
bodoh? Jelas, begitu susah menyusun kisah, mereka bilang lupakan saja?...


Kamu begitu yakin bahwa masih ada sisih sisa rasa itu bersemayam dihatiku. Meskipun hanya benar-benar sedikit, setidaknya masih ada.  Bagaimana benar-benar bisa  hilang, ratusan hari bersama menjalin kisah, bisa lenyap hanya karna 3 kata yang diucapkan sepersekian detik? Mustahil.

Dengan bekal pola pikir yang seperti itu, kamu tak lelah mengejar lagi rasa yang sempat tertinggal, berharap mampu mengubah rasa cinta yang aku punya terhadap pria baruku, agar bisa sepenuhnya hanya kamu yang ada disini, dihatiku.


Kamu mencariku, kamu meminta kesempatan kedua, kamu mengirim puluhan puisi tentang kisah kita, kamu menyanyikan beberapa lagu favorit kita, kamu membuatkan puluhan gambar sketsa wajahku, apapun, sekedar membuat agar kamu ada lagi disinggasana hatiku.

Beruntungnya kamu, aku tak pernah sekalipun menolak segala usahamu. Biar hanya bilang “terimakasih” kamu menganggap itu sebagai pemberian kesempatan untuk kamu. Kamu sungguh tak perduli dengan perasaan yang dipunyai priaku jika ia sampai tahu.

Satu bulan setelah itu mungkin kamu tak lagi mendengar kabar tentangku.


 Beberapa sahabatku mengabarimu bahwa  nomor teleponku sudah tidak bisa dihubungi lagi, susah sekali menghubungiku. Ini pertanda, kamu harus sabar menunggu, lagi dan lagi.


Kamu sabar menunggu, menunggu dengan menutup telinga dan hati. Membiarkanku  berputaran dilipatan keriting otakkmu yang tak beraturan itu.

Satu tahun kemudian, aku memberimu kabar. Aku mengajakmu bertemu di pusat perbelanjaan sore ini. Disebuah resto mini tempat pertama kali aku dan kamu jalan dan makan bersama.  Mungkin kamu tak sabar menunggu sore, tepatnya ingin bertemu denganku.

4 p.m, di resto mini.


“kamu apa kabar?”, tanyaku pelan-pelan.



“aku? Baik, terlebih hari ini.” Jawabmu, sambil tersenyum.

Beberapa menit terdiam, akhirnya aku memecah hening dan bertanya.

“bagaimana kabar hatimu? Masih sama seperti dulu?”, tanyaku sambil menatap langit-langit resto yang cukup ramai didatangi pelanggan itu.

“hummm, kamu masih disana.” Jawabmu sambil menatap kedua mataku.

“berapa banyak waktu yang kamu buang hanya untuk aku yang tak lagi perduli terhadapmu, yang tak lagi memikirkanmu, yang tak lagi menyanyangimu. Sekarang, adalah waktu yang tepat untuk kamu merubah duniamu. Banyak dunia yang kamu lupakan. Hobimu, teman-temanmu, dan bahkan kamu membiarkan hatimu sakit seperti itu. Jangan bilang aku kejam, karna kamu selamanya hanya akan semakin sulit melangkah. Dulu kamu yang membuatku untuk tetap melepasmu. Berpikirlah, masih banyak yang menantimu.” , ucapku sambil memegang bahumu.

Kamu bahkan terlihat tidak begitu sedih, malah terlihat ada perasaan lega setelah aku bicara seperti itu.
Ternyata yang kamu tunggu selama ini adalah, perkataanku untuk menyuruhmu berhenti.

Bagiku, perasaanmu terhadapku hanya sekedar ambisi. Seperti yang aku bilang, kamu harus mampu membuat dunia yang baru, dari dunia yang sempat terlupa.


Benar, jika kau merasa aku seperti ini karna perbuatanmu tempo dulu. tapi tenanglah, aku tak pernah sedikitpun membenci sosokmu, tapi sikapmu.

No comments:

Post a Comment