Kamu
masih saja berdiri ditempat yang sama, tubuh yang sama, dan bahkan dengan rasa
yang sama.
Orang-orang
berubah, aku berubah, tetapi masih saja kamu berdiri disitu dan tak pernah mau
beranjak dari rasa yang kupikir paling pahit, dan tentu saja memang harus
dilupakan.
Kamu
masih kuat bertahan. Sampai kapanpun. Meski sebagian dari mereka berbilang
bahwa itu hanya sekedar pemaksaan hati yang masih saja ingin mimiliki.
Kemudian
mereka menyuruhmu melupakan rasa...membuang asa, dan segala tentangku. Dan
ternyata kamu malah berpikir: kenapa mereka begitu
bodoh? Jelas, begitu susah
menyusun kisah, mereka bilang lupakan saja?...
Kamu
begitu yakin bahwa masih ada sisih sisa rasa itu bersemayam dihatiku. Meskipun
hanya benar-benar sedikit, setidaknya masih ada. Bagaimana benar-benar bisa hilang, ratusan hari bersama menjalin kisah,
bisa lenyap hanya karna 3 kata yang diucapkan sepersekian detik? Mustahil.
Dengan
bekal pola pikir yang seperti itu, kamu tak lelah mengejar lagi rasa yang
sempat tertinggal, berharap mampu mengubah rasa cinta yang aku punya terhadap
pria baruku, agar bisa sepenuhnya hanya kamu yang ada disini, dihatiku.
Kamu
mencariku, kamu meminta kesempatan kedua, kamu mengirim puluhan puisi tentang
kisah kita, kamu menyanyikan beberapa lagu favorit kita, kamu membuatkan
puluhan gambar sketsa wajahku, apapun, sekedar membuat agar kamu ada lagi
disinggasana hatiku.
Beruntungnya
kamu, aku tak pernah sekalipun menolak segala usahamu. Biar hanya bilang
“terimakasih” kamu menganggap itu sebagai pemberian kesempatan untuk kamu. Kamu
sungguh tak perduli dengan perasaan yang dipunyai priaku jika ia sampai tahu.
Satu
bulan setelah itu mungkin kamu tak lagi mendengar kabar tentangku.
Beberapa sahabatku mengabarimu bahwa nomor teleponku sudah tidak bisa dihubungi
lagi, susah sekali menghubungiku. Ini pertanda, kamu harus sabar menunggu, lagi
dan lagi.
Kamu
sabar menunggu, menunggu dengan menutup telinga dan hati. Membiarkanku berputaran dilipatan keriting otakkmu yang
tak beraturan itu.
Satu
tahun kemudian, aku memberimu kabar. Aku mengajakmu bertemu di pusat
perbelanjaan sore ini. Disebuah resto mini tempat pertama kali aku dan kamu
jalan dan makan bersama. Mungkin kamu
tak sabar menunggu sore, tepatnya ingin bertemu denganku.
4
p.m, di resto mini.
“kamu
apa kabar?”, tanyaku pelan-pelan.
“aku?
Baik, terlebih hari ini.” Jawabmu, sambil tersenyum.
Beberapa
menit terdiam, akhirnya aku memecah hening dan bertanya.
“bagaimana
kabar hatimu? Masih sama seperti dulu?”, tanyaku sambil menatap langit-langit
resto yang cukup ramai didatangi pelanggan itu.
“hummm,
kamu masih disana.” Jawabmu sambil menatap kedua mataku.
“berapa
banyak waktu yang kamu buang hanya untuk aku yang tak lagi perduli terhadapmu,
yang tak lagi memikirkanmu, yang tak lagi menyanyangimu. Sekarang, adalah waktu
yang tepat untuk kamu merubah duniamu. Banyak dunia yang kamu lupakan. Hobimu,
teman-temanmu, dan bahkan kamu membiarkan hatimu sakit seperti itu. Jangan
bilang aku kejam, karna kamu selamanya hanya akan semakin sulit melangkah. Dulu
kamu yang membuatku untuk tetap melepasmu. Berpikirlah, masih banyak yang
menantimu.” , ucapku sambil memegang bahumu.
Kamu
bahkan terlihat tidak begitu sedih, malah terlihat ada perasaan lega setelah
aku bicara seperti itu.
Ternyata
yang kamu tunggu selama ini adalah, perkataanku untuk menyuruhmu berhenti.
Bagiku,
perasaanmu terhadapku hanya sekedar ambisi. Seperti yang aku bilang, kamu harus
mampu membuat dunia yang baru, dari dunia yang sempat terlupa.
Benar,
jika kau merasa aku seperti ini karna perbuatanmu tempo dulu. tapi tenanglah,
aku tak pernah sedikitpun membenci sosokmu, tapi sikapmu.
No comments:
Post a Comment