Aku,
seorang mahasiswi semester 2 dari satu perguruan tinggi swasta di Batam, yang begitu mudah mengagumi
orang-orang yang menurutku pantas untuk dikagumi karena kehebatannya, yang cuma
sekedar kagum dan tak pernah beranggapan bahwa jatuh cinta itu ada. Aku begitu
mudah bergumam kagum kepada siapa saja yang pandai meracik kata menjadi sebuah
ucapan penghasil tawa , pria yang pandai bermain alat musik, pria yang
gemar berolah raga, pria yang pandai bercerita, mereka yang menghargai
hidupnya, aku memang pandai dalam kagum-mengagumi. Ya, itu aku
.
Aku
cuma percaya mengagumi, dan suka terhadap sesuatu, bukan untuk mencintai.
Mungkin benar yang mereka bilang, aku sedang menutup pintu hati, tak mau luka
lagi. Makanya tak percaya jatuh cinta itu ada (lagi). Aku malah tak beranggapan
seperti itu. Aku hanya mau merubah beberapa jalan cerita yang awalnya terbiasa
dengan kekasih –sekarang tidak- menjadi wanita yang tidak bergantung pada siapa
pun. Maksudku, setidaknya mengurangi
dalam hal merepotkan orang lain.
Aku
pernah dijatuhkan, diacuhkan, tak didengar, tak digubris, dan yang terlebih
menyesakkan, yakni ditinggalkan. Tapi Tuhan Maha Baik, Ia ganti semuanya dengan
puluhan sahabat baik yang bisa menemaniku kapan saja, dan di mana saja ketika
aku butuhkan. Setahun setelah tanpanya, sama sekali aku tak merasa kesepian.
Aku mendapati teori baru; jika punya kekasih, hanya boleh satu. Tandanya hanya
punya satu bahu untuk bersandar, itupun ketika kita menangis, bahunya tak selalu
siap siaga ada. Tapi ketika punya banyak teman? Banyak yang menyuguhkan bahu
tanpa diminta, kan? Lebih pilih mana?
Aku
tak mau jatuh cinta, sebab aku tahu konsekuensinya. Aku tak mau berkomitmen
dalam menjalin hubungan, sebab aku tahu akan ada banyak ingkar. Aku tak mau…
sebentar! Aku lupa kalau aku ini sedang jatuh cinta. Sedang menyayangi seorang
kaum adam yang bahkan tak aku kira sebelumnya. Ya, dia pacarku. Aku bahkan
sedang berpikir, bagaimana bisa aku mematahkan teori keren yang kubuat dulu?
Awalnya
aku dikerubungi ragu, ini cuma sekedar permainan rasa, bukan jatuh cinta. Sulit
memang, membangun kepercayaan tak semudah membangun kastil kerajaan, iya.
Maksudku dari pasir putih di pantai. Jadi kubiarkan saja.
Dampak
dari 'kubiarkan saja' ternyata jadi semakin banyak. Ada passion dari
conversation yang kita buat. Banyak cerita yang tak membosankan, sama sekali
tak membuat jemu. Cuma beberapa hari tak bertemu, rindu menjadi candu. Ah, aku
jatuh cinta.
Tunggu
dulu, aku jatuh cinta? Yang benar saja. Tapi mungkin, jatuh cinta merupakan
hukuman Tuhan kepada mahluk-Nya yang tak percaya cinta. Iya, aku.
Tuhan
sedang menghukumku, hukuman yang aku tolak sebelumnya, yang karena aku pernah
rasa sebelumnya, yang aku tahu konsekuensinya, dan yang pernah aku tahu
bagaimananya. Ya, jatuh cinta. Tapi kali ini aku tunduk dengan penghukuman
yang Tuhan beri. Tak lagi mengelak
seperti sebelumnya. Tuhan Maha Pemberi Rasa. Maha Segalanya.
Hukuman-Mu
aku terima, Tuhan. Dengan konsekuensi yang sudah aku ketahui, dengan segala
harap kebahagiaan, dengan perizinan menyayangi sesama umat manusia, dengan
senang hati, aku terima.
Ternyata
masih ada sisa jatuh cinta. Iya, kepada
kamu.
No comments:
Post a Comment